siakuh

siakuh
@dayangsumbi

Sabtu, 31 Desember 2011

Resolusi di Tahun Baru, Haruskah??

Setiap akhir tahun, menjelang awal tahun, hampir 75% penduduk Indonesia merayakannya dengan kembang api, hura-hura, de-es-be. Dan tentunya melakukan make a wish atau resolusi untuk tahun baru. Berbagai keinginan, harapan, dan cita-cita yang belum tercapai di tahun sebelumnya menjadi deretan harapan di tahun baru. Pertanyaannya, apakah memang harus di pergantian tahun? tahun baru masehi lagi. Bagus kalau resolusi yang ditulis itu diaplikasikan, kalau nggak? Buat apa? Yang paling penting sebenarnya action-nya, bukan hanya omdo.
Menurut saya, idealnya resolusi itu kita lakukan setiap hari, muhasabah sebelum tidur sehingga hari berikutnya siap dengan diri yang lebih baik. Bukankah dikatakan bahwa orang yang beruntung itu adalah hari esoknya lebih baik dari hari ini. Sebaliknya, celakalah bagi orang-orang yang hari ini malah lebih buruk dari hari kemarin. Makanya sangat penting untuk kita bisa mengawali hari dengan hal yang baik. Minimalnya kita mengawali hari dengan shalat subuh tepat waktu, syukur-syukur bisa mengawali hari dengan tahajud, memohon agar hari yang akan dihadapi lebih baik. Kemudian rencanakan apa yang akan dilakukan pada hari itu. Seperti yang dikatakan oleh Aidh Al-Qarni "Bila engkau tidak siap pada hari ini, maka hari esok bukanlah milikmu".

CMD, 010112
06:59

GURU : SENIMAN PERILAKU TAK SEKEDAR TRANSFER ILMU

Seorang guru tentunya punya kewajiban memberikan ilmu yang dipunya kepada anak didiknya. Akan tetapi apakah hanya sebatas memberikan ilmu? Setelah itu? Selesaikah? Saya rasa tidak.

Beberapa guru, mungkin sebagian besar, dan termasuk saya sendiri (awalnya) menganggap bahwa yang namanya guru, khususnya guru sekolah, tugas utamanya adalah hanya memberikan materi sesuai dengan silabus yang ada, menjadikan anak didiknya mendapat nilai di atas KKM, nilai UN yang memuaskan, dan lulus Perguruan Tinggi Negeri sesuai harapan. Selesailah tugas sang guru tersebut.

Anggapan tersebut ternyata sangat keliru, tugas seorang guru tidak semudah itu, lebih kompleks dari yang dibayangkan. Selain harus memahamkan anak didik mengenai materi pelajaran, hal yang lebih penting dari itu adalah bagaimana seorang guru bisa mencetak generasi yang memiliki akhlak, sesuai dengan syariat. Pertanyaannya, bagaimana cara seorang guru tersebut bisa menghasilkan anak didik yang tidak hanya sekedar bagus nilai akademiknya? Dan bagaimana menyeimbangkan antara nilai kognitif dan afektif? Untuk mencetak generasi yang unggul, baik kognitif maupun afektif, saya kira caranya adalah selain bisa mencetak anak didik yang sukses dalam akademik, guru juga harus bisa menjadi teladan, pantas ditiru perilakunya, kebiasaannya, bahkan penampilannya sekalipun.

Hal yang tidak mungkin terjadi adalah apabila seorang guru bercita-cita mencetak anak didiknya menjadi peribadi yang sholeh atau sholehah, sedangkan gurunya sendiri tidak menjadi teladan, tidak memberikan contoh yang baik. Bisa dipastikan cita-cita tersebut hanyalah mimpi yang mustahil diwujudkan. Contoh kecilnya saja, anak didik akan mudah mengikuti peraturan memakai kerudung lebar (satu jengkal dari bahu) jika sudah dicontohkan oleh guru sehingga anak didik tidak mempunyai alasan untuk melanggar.

Meminjam istilah Reza M. Syarif (dalam artikel yang ditulis oleh Wakasek SMK PGII Bandung) tentang eksistensi manusia dilihat dari keberadaan dan prestasinya (performa), seorang guru terbagi dalam lima model, yaitu:

1. Guru yang apa adanya (mengajar sekadar menggugurkan kewajiban, tidak peduli dengan keadaan anak di luar kelas atau masalah-masalah di rumahnya),

2. Guru yang tidak ada apa-apanya (Guru yang sama sekali tidak memiliki gairah untuk menjadikan siswa pintar apalagi berkarakter),

3. Guru yang ada-ada saja (Guru yang lebih banyak kesan negatif daripada positif,

4. Guru yang ada lebihnya (Guru yang sadar akan tugas pokok dan fungsinya sebagai guru), dan

5. Guru yang adanya tidak sekedar ada (Guru yang sangat sadar pada eksistensinya, potensinya, profesinya, situasi dan kondisinya, visi dan misinya, obsesinya, serta efektivitas aksinya).

Dari kelima model di atas, termasuk model manakah kita? Saya rasa kita punya cita-cita yang sama, mencetak generasi yang bukan hanya unggul dalam akademik tetapi juga unggul dalam perilaku. Tentunya untuk mewujudkan hal itu, kita jangan menjadi guru yang tidak ada apa-apanya, guru yang apa adanya, apalagi menjadi guru yang ada-ada saja. Di As-Syifa, kita sama-sama berusaha menjadi guru yang ada lebihnya, bahkan menjadi guru yang tidak sekedar ada. Bersama-sama mencetak anak didik berkarakter, unggul dalam akademik, mulia dalam akhlak, dan sukses dalam segalanya.

Sadarilah bahwa kita adalah para seniman perilaku, seniman yang bisa menghasilkan karya indah nan elok, yaitu mencetak anak didik yang berkarakter, berperilaku sesuai syariat. Itulah guru super.

“The Boiled Frog”

“Ya ampun”, spontan saya katakan setelah melihat jadwal kultum yang diberikan pagi hari, tepatnya selasa, 20 September 2011 di ruang guru putri SMAIT As Syifa. Yang membuat saya kaget adalah saya kebagian kultum memakai bahasa Inggris --Halohalo… tampaknya apapun bahasa yang saya ucapkan, logat yang keluar pasti bahasa Sunda ^0^. Biasanya saya kebagian jadwal kultum bahasa Sunda, terasa lebih nyaman karena bahasa ibu. Lebih paham nada, jeda dan intonasi ketika mengucapkannya. Keadaannya semakin parah karena jadwal kultum saya BESOK. Ya, tanggal 21 September.

Langsung saja saya mencari narasumber. Siapa lagi kalau bunda Thika dan bunda Lingga. Ahay! Alhamdulillah persediaan cerita bahasa Inggris mereka buanyak. Saya mendapat cerita-cerita dari bunda Lingga, all about frog. Setelah dibaca-baca, ternyata ada salah satu yang dipilihkannya untuk saya. The title is “The Boiled Frog”.

They say that if we put a frog into a pot of boiling water, it will leap out right away to escape the danger. But, if you put a frog in a kettle that is filled with water that is cool and pleasant, and then we gradually heat the kettle until it starts boiling, the frog will not become aware of the threat until it is too late. The frog’s survival instincts are geared towards detecting sudden changes.

***

Benar saja ternyata, ngomong bahasa Inggris membuat lidah saya terasa berat dan tentunya logatnya pun masih nyunda pisan. Maklum, sarapannya bukan roti dan keju –halo, apa hubungannya? Apapun alasannya, saya harus bisa nyampein kultum bahasa Inggris pagi ini.

Beberapa menit sebelum break the day dimulai, saya masih minta diajarkan cara pengucapan vocab yang benar kapada bunda Thika dan bunda Lingga. Walhasil, saya pasrahkan saja kepada Allah, yang penting saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Maaf-maaf saja kalau logat sundanya masih ada.

Break the day pun dimulai dengan pembukaan oleh MC lalu tasmi, dan speech dari Hanifah FFG, mantan ketua E-Club 2010. Pastinya siswa saya, Hani, lebih fasih berbicara bahasa Inggris --tambah ciut nih. ”Tenang-tenang… tarik napas yang dalam, jangan biarkan kegugupan mengundang keringat meluncur bebas membasahi punggung dan menggetarkan lutut serta tangan”, pikirku.

Now, let’s listen the short speech from bunda Titin. The time is yours” Irma berqola. “Wadduh, bagian saya nih”. Deg! –dagdigdugder. Dengan senyum ketenangan –berusaha tenang tepatnya—saya melenggang mendekati speaker dan mengambilnya dari MC. “Adduh, ada yang lupa. Kata pembukanya belum disiapin…” Akhirnya saya buka dengan “Assalamualaikum… How are u today?” #denganpenuhsumanget# “Untuk pertama kalinya bunda berbicara bahasa Inggris di depan kalian” #Lho, yang keluar kok bahasa Indonesia… gapapa ah, pembukaannya aja. “Mohon maaf ya kalau pengucapan vocabnya ada yang salah” #Lholho, kok bahasa Indonesia lagi yang keluar. Stop.

Today, I would like to tell u about ‘The Foiled Frog’ blablablabla….. sampai akhir. “Understand?” tanyaku. –ngekngok— tampaknya mereka tak begitu paham, karena saya kurang jelas dan mungkin salah mengucapkan vocabnya. Ada yang menjawab “Little little…”.

“Ini kisah tentang kodok. Ketika kodok dimasukkan ke dalam panci yang berisi air mendidih, spontan kodok tersebut akan melompat keluar panci untuk menghindari bahaya. Tetapi berbeda ketika kodok tersebut disimpan di panci atau tempat yang berisi air yang dingin dan nyaman. Lalu kita hangatkan panci tersebut sampai airnya mendidih. Ternyata kodok tersebut tidak bisa melompat atau menghindar dari bahaya air mendidih karena terlambat menyadari bahwa dia berada dalam kondisi yang sangat berbahaya” jelasku.

“Kisah kodok ini bisa diibaratkan dengan kehidupan kita. Tepatnya berkenaan dengan gozwul fikri. Ketika kita dihadapkan dengan kondisi yang jelas bahayanya atau hukumnya, kita akan lebih waspada. Contohnya ketika kita mengetahui hukum berzina, minum khomr, dan lain-lain yang diharamkan Allah. Kita akan lebih waspada untuk tidak melakukannya. Berbeda halnya ketika kita dihadapkan dengan hal yang kita anggap biasa atau sepele, tetapi lama kelamaan hal yang dianggap sepele tersebut bisa jadi bahaya yang sangat besar”.

“Contohnya yang sedang marak akhir-akhir ini adalah menonton film korea, dampak yang timbul tidak akan langsung terasa. Semakin lama, semakin sering menonton film korea, gaya hidup, cara penampilan, tingkah laku, dll. akan mengikuti apa yang dicontohkan oleh sang idola. Inilah yang namanya perang pemikiran. Disadari atau tidak, sampai saat ini kita masih dijajah. Dijajah oleh budaya-budaya yang merusak keislaman dan keimanan kita. Mereka menggunakan cara halus untuk bisa menghancurkan kita. Maka dari itu marilah kita tingkatkan kewaspadaan, kehati-hatian kita dalam menjaring budaya yang masuk, baik dari tontonan, lagu, dan sebagainya”.

That all for me. Mohon maaf atas segala kekurangan. Wassalamualaikum….”. Uuhh.. leganya, walaupun tidak semuanya berbahasa Inggris, yang penting selesai. Akhirnya bisa dilewati juga. Saya berharap kisah kodok ini bisa membuat kita semakin waspada!

Acipa, 21/9/2011

21:52 WIB

Jayuss...

Menjelang maghrib Pak Duleh hanya mendapat beberapa penumpang saja. Sudah bertahun-tahun Pak Duleh berprofesi jadi tukang ojeg karena dia hanya lulusan SD. Motor butut yang menemaninya selama bertahun-tahun itu didapatkannya dari cicilan selama 5 tahun.

“Ojeg Pak!” seorang ibu memanggil Pak Duleh.

“Alhamdulillah, sebelum pulang, lumayan tambah penumpang…” Pak Duleh girang.

Saking semangatnya Pak Duleh langsung menghampiri ibu tadi dan langsung menancapkan gas. Perjalanan tersebut melewati sebuah kuburan. Tepat di sebuah kuburan tersebut, Pak Duleh baru bertanya kepada ibu penumpang, “Bu, mau ke mana?”.

Hening. Tidak ada jawaban.

Seketika bulu kuduk Pak Duleh merinding membayangkan cerita-cerita yang ada di TV. “Apa mungkin ibu-ibu ini berubah jadi gadis yang berambut panjang, terus bayarnya pake daun?” Lirih Pak Duleh dalam hati. Dihentikannya motor kemudian menengok ke belakang. “Bu?” tanya lagi Pak Duleh.

Kaget, takut disertai bulu kuduk berdiri, Pak Duleh langsung berbalik arah, ternyata tidak ada orang yang naik di ojegnya. Pak Duleh langsung kembali menuju pangkalan ojeg.

“Mau untung malah buntung, yang naik malah kuntilanak…” ujar Pak Duleh.

Di tengah jalan menuju pangkalan ojeg, Pak Duleh semakin kaget karena ibu-ibu yang jadi penumpangnya tadi dibawa oleh tukang ojeg yang lain. Saat berpapasan dengan ojeg yang membawa ibu tadi, Pak Duleh bertanya, “Bu kok bisa di ojeg itu?”.

“Bapak ini gimana, tadi saya belum naik ojeg bapak, kok motornya sudah berangkat? Saya panggil-panggil, Bapak malah makin kenceng bawa motornya.” Jawab ibu bernada kesal.

“Oh…. Maaf Bu, saya tadi kayaknya terlalu bersemangat. Kirain ibu udah naik” Jawab Pak Duleh malu.

“Pantesan tadi ringan banget, belum naek toh ibunya… Alhamdulillah kalo gitu, ternyata ibu tadi bukan kuntilanak.” Pak Duleh lega.

Analogi

Tepat pada hari ini, Kamis, 08/12/2011 saya memeriksa hasil ulangan anak-anak kelas 12. Salah satu soal isian yang diberikan kepada mereka adalah membuat paragraf analogi. Seperti biasa, mereka selalu penuh ide yang menarik. Mereka menganalogikan banyak hal. Beberapa diantaranya berisi seperti ini:

"Ilmu itu laksana air. Air akan sangat bermanfaat ketika mengalir mengairi sawah, memenuhi kebutuhan hidup, mengalir ke rumah-rumah penduduk untuk diminum, mencuci, dsb. Sebaliknya, air akan berbahaya ketika diam dalam sebuah wadah. Bisa menjadi tempat jentik-jentik nyamuk berkembang, sehingga tumbuh bibit penyakit, dan tentunya akan merugikan. Begitupun dengan ilmu. Ia akan dirasakan manfaatnya ketika diamalkan, diajarkan, juga diterapkan dalam kehidupan. Sedangkan ilmu yang dipendam, akan sia-sia, merugikan diri sendiri dan orang lain." (Aghniya Humaira)

"Kehidupan di dunia sama halnya dengan mampir ke pom bensin saat di perjalanan. Ketika di perjalanan, kita tidak akan selamanya berada di pom bensin. Kita berada di pom bensin hanya untuk mengisi bahan bakar agar siap melanjutkan perjalanan agar sampai pada tujuan. Begitu pula dengan kehidupan, kita hidup di dunia ini hanya sementara. Istilahnya menyiapkan bekal untuk perjalanan ke akhirat." (Maryam)

Selain itu, ada juga karangan yang berisi tentang pernikahan, ditujukan untuk orang-orang yang sedang dalam 'pencarian', sepertinya...

"Memilih pasangan hidup sama halnya dengan memilih buku. Memilih buku pasti yang paling penting dilihat adalah isi buku tersebut, apakah isinya bagus atau tidak. Begitu pula dengan memilih pasangan hidup. Jangan sampai hanya melihat cover-nya saja, lihat bibit bobotnya, sifatnya, kekurangannya dan kelebihannya." (Paula)

Selain anak-anak, seorang pengawas ulangan pun ikut menyumbangkan contoh karangan analogi, begini katanya...

"Dalam menjalin ikatan pernikahan itu seperti halnya memintal benang demi benang, sekaku kafankah atau sehalus sutrakah kain yang akan dihasilkan, akan tergantung dari kualitas benang dan ilmu yang dimiliki pemintalnya. Sama halnya dengan pernikahan, seperti apa keluarga yang akan terbangun, akan sangat ditentukan oleh kesiapan ilmu dari setiap individu yang membangun komitmen pernikahan tersebut. Maka persiapkanlah ilmu dengan matang sebelum mengarungi bahtera pernikahan."

Nampaknya yang memberikan komentar paling terkahir sedang galau....hehe.

Tiga Hal yang Penting

Bersama kurang lebih 150 akhwat, di sebuah aula. Tema yang disajikan nampaknya sangat menarik perhatian, sehingga pesertanya lebih banyak dari perkiraan awal. Tidak menarik bagaimana, temanya “Membangun Keluarga Islami”. Setiap muslimah tentunya mempunyai cita-cita bisa membangun keluarga yang “SAMARA”—sakinah,mawaddah, warohmah. Diperlukan ilmu, tips-tips, kiat-kiat, dll. yang berhubungan dengan cara membangun keluarga islami tersebut. Sedikitnya ada tiga hal besar yang saya ambil dari pertemuan hari ini.

1. Niat

Hal yang satu ini merupakan awalan yang bisa menentukan hasil akhir. Suatu pekerjaan yang diniatkan baik, selanjutnya, sampai proses akhir, insya Allah bernilai baik pula. Pun sebaliknya, walau pekerjaan yang dilakukan baik, jika niatnya salah, maka nilai pekerjaan baik pun bernilai salah. Sama halnya dengan niat seorang akhwat ataupun ikhwan yang mempunyai niat untuk menggenapkan agamanya dengan menikah. Niat yang dihadirkan dalam hatinya harus ‘lurus’, hanya mengharap ridho Allah. Bukan karena nafsu, desakan orangtua, mencari status—karena teman-temannya sudah menikah, bahkan sudah mempunyai anak, terus ikut-ikutan, atau malu karena disebut ngga laku. Ingat, tujuan menikah itu bukan hanya berorientasi kepada keduniaan saja, tapi hal yang lebih penting dari itu adalah bagaimana keluarga yang kita bangun bisa disambung di akhirat nanti, sehingga masing-masing menjadi bidadari dan bidadara surga. Terus bagaimana cara meluruskan niat? Sebaiknya baca banyak referensi atau tanyakan kepada orang yang lebih paham… he.

Kalau menurut saya—yang ilmunya baru seuprit, kita harus renungi, sebenarnya tujuan menikah itu apa? Apa yang mau kita cari? Kalau tujuannya hanya keduniawian saja, berarti harus diperbaiki. Kalau tujuannya untuk beribadah, ingin mencetak generasi rabbani sehingga bisa dipertanggungjawabkan di akhirat, baru baik, insya Allah. So, luruskan niat!.

2. Bangun Kepribadian

Mencari calon pasangan itu tidak harus yang mempunyai kepribadian. Lho?

Maksudnya, tidak harus yang sudah punya rumah pribadi, mobil pribadi, dan pribadi-pribadi yang lain. Kriteria yang ini mah cuman bonus saja, yang utamanya harus melihat dari sisi agamanya, keimanannya, insya Allah akan bahagia. Karena kebahagiaan itu tidak bisa diukur dari banyaknya harta ataupun hal keduniaan lainnya. Kebahagiaan itu lahir dari hati yang lapang, yang senantiasa bersyukur, selalu berprasangka baik kepada Allah. Walaupun memang, yang namanya materi itu penting, tapi jangan sampai dijadikan nomor wahid.

Kita pasti sering mendengar kalimat seperti ini, “Laki-laki yang baik itu diperuntukkan wanita yang baik, pun sebaliknya”. Itu sudah jadi ketentuan Allah. Walaupun mungkin dari penilaian manusia tidak baik, bisa jadi orang tersebut baik untuk kita. Intinya dengan siapapun jodoh kita nantinya, insya Allah itu yang terbaik di mata Allah untuk kita.

Bagi akhwat yang belum menemukan bidadaranya, bisa jadi Allah melihat dulu kepribadiannya yang lebih baik, sampai akhirnya bisa disandingkan dengan pasangan yang baik pula. Dengan cara apa supaya kepribadian kita baik? Ya dengan cara takwa kepada-Nya. Bekali diri dengan ilmu, laksanakan apa yang diperintahkan dan jauhi larangan-Nya.

3. Melaksanakan kewajiban sebagai istri ataupun suami

Setelah menemukan pasangan, dibekali dengan ilmu yang cukup, niat yang benar, insya Allah kedua pasangan akan mengerti kewajiban masing-masing. Masalah-masalah yang hadir dalam bahtera rumah tangga akan bisa diatasi atau bahkan memungkinkan sekali bagi orang-orang yang sudah paham akan kewajiban dan hak sebagai pasangan, yang namanya masalah ataupun yang lainnya—yang bisa mengganggu keharmonisan keluarga akan bisa dihindari. Sekalipun ada, tidak akan sampai berlarut-larut, apalagi sampai terjadi perceraian.

Maka pantas, jika dengan menikah, seseorang dikatakan sudah menggenapkan agamanya, menyempurnakan setengah agamanya, karena dalam rumah tanga itu—katanya—pasti ada saja masalah-masalah di luar dugaan yang bisa menguji kesabaran kita. Makanya di awal, kita jangan hanya membayangkan yang enak-enaknya saja. Pikirkan juga, bagaimana ketika kita dihadapkan dengan masalah-masalah rumah tangga. Harus siap dengan segala sesuatunya.

Wallohua’lam…