siakuh

siakuh
@dayangsumbi

Sabtu, 31 Desember 2011

GURU : SENIMAN PERILAKU TAK SEKEDAR TRANSFER ILMU

Seorang guru tentunya punya kewajiban memberikan ilmu yang dipunya kepada anak didiknya. Akan tetapi apakah hanya sebatas memberikan ilmu? Setelah itu? Selesaikah? Saya rasa tidak.

Beberapa guru, mungkin sebagian besar, dan termasuk saya sendiri (awalnya) menganggap bahwa yang namanya guru, khususnya guru sekolah, tugas utamanya adalah hanya memberikan materi sesuai dengan silabus yang ada, menjadikan anak didiknya mendapat nilai di atas KKM, nilai UN yang memuaskan, dan lulus Perguruan Tinggi Negeri sesuai harapan. Selesailah tugas sang guru tersebut.

Anggapan tersebut ternyata sangat keliru, tugas seorang guru tidak semudah itu, lebih kompleks dari yang dibayangkan. Selain harus memahamkan anak didik mengenai materi pelajaran, hal yang lebih penting dari itu adalah bagaimana seorang guru bisa mencetak generasi yang memiliki akhlak, sesuai dengan syariat. Pertanyaannya, bagaimana cara seorang guru tersebut bisa menghasilkan anak didik yang tidak hanya sekedar bagus nilai akademiknya? Dan bagaimana menyeimbangkan antara nilai kognitif dan afektif? Untuk mencetak generasi yang unggul, baik kognitif maupun afektif, saya kira caranya adalah selain bisa mencetak anak didik yang sukses dalam akademik, guru juga harus bisa menjadi teladan, pantas ditiru perilakunya, kebiasaannya, bahkan penampilannya sekalipun.

Hal yang tidak mungkin terjadi adalah apabila seorang guru bercita-cita mencetak anak didiknya menjadi peribadi yang sholeh atau sholehah, sedangkan gurunya sendiri tidak menjadi teladan, tidak memberikan contoh yang baik. Bisa dipastikan cita-cita tersebut hanyalah mimpi yang mustahil diwujudkan. Contoh kecilnya saja, anak didik akan mudah mengikuti peraturan memakai kerudung lebar (satu jengkal dari bahu) jika sudah dicontohkan oleh guru sehingga anak didik tidak mempunyai alasan untuk melanggar.

Meminjam istilah Reza M. Syarif (dalam artikel yang ditulis oleh Wakasek SMK PGII Bandung) tentang eksistensi manusia dilihat dari keberadaan dan prestasinya (performa), seorang guru terbagi dalam lima model, yaitu:

1. Guru yang apa adanya (mengajar sekadar menggugurkan kewajiban, tidak peduli dengan keadaan anak di luar kelas atau masalah-masalah di rumahnya),

2. Guru yang tidak ada apa-apanya (Guru yang sama sekali tidak memiliki gairah untuk menjadikan siswa pintar apalagi berkarakter),

3. Guru yang ada-ada saja (Guru yang lebih banyak kesan negatif daripada positif,

4. Guru yang ada lebihnya (Guru yang sadar akan tugas pokok dan fungsinya sebagai guru), dan

5. Guru yang adanya tidak sekedar ada (Guru yang sangat sadar pada eksistensinya, potensinya, profesinya, situasi dan kondisinya, visi dan misinya, obsesinya, serta efektivitas aksinya).

Dari kelima model di atas, termasuk model manakah kita? Saya rasa kita punya cita-cita yang sama, mencetak generasi yang bukan hanya unggul dalam akademik tetapi juga unggul dalam perilaku. Tentunya untuk mewujudkan hal itu, kita jangan menjadi guru yang tidak ada apa-apanya, guru yang apa adanya, apalagi menjadi guru yang ada-ada saja. Di As-Syifa, kita sama-sama berusaha menjadi guru yang ada lebihnya, bahkan menjadi guru yang tidak sekedar ada. Bersama-sama mencetak anak didik berkarakter, unggul dalam akademik, mulia dalam akhlak, dan sukses dalam segalanya.

Sadarilah bahwa kita adalah para seniman perilaku, seniman yang bisa menghasilkan karya indah nan elok, yaitu mencetak anak didik yang berkarakter, berperilaku sesuai syariat. Itulah guru super.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar